Diwaktu senja hari, pelangi melengkung disebelah timur, diujung desa kicau burung menyambut datangnya malam. Seorang anak kecil yang sakit-sakitan kini berlari gembira, meloncat dari batu kebatu yang lain, disungai yang berair bening, dipundaknya membawa alat pancing dan ditangannya membawa beberapa ikan. Gembira sekali tampaknya, kegembiraan yang terpancar lewat wajahnya bahwa sore ini akan makan berlauk ikan. Suatu karunia dalam kehidupan yang dicekam kemelaratan.
Dia berlari dan berlari terus menerus menelusuri tepian sungai untuk pulang.
"Bu...Ibu...ini aku mendapat ikan." teriak anak kecil itu penuh kemanjaan dan mengharapkan pujian.
"Bu...makan besar kita sore ini." teriak anak kecil itu kembali. Tetapi yang muncul diambang pintu bukan Ibunya yang sangat dicintai, bukan pula kakak perempuannya yang paling disukai, tetapi sang ayah yang paling disegani karena kedisiplinannya. Dikeremangan senja itu tampak wajah ayahnya penuh kekerasan.
"Pak...saya mancing, dapat ikan." Katanyaterputus-putus penuh kecemasan.
"Tahu ini jam berapa? Hanya karena kamu tergiur memancing ikan, sampai lupa waktu. Tidakkah kau pikirkan Ibumu bingung mencarimu?" Bentak sang ayah.
"Tetapi...tetapi saya tidak punya pikiran demikian pak, saya kira ibu tidak akan bingung jika saya pulang sampai senja hari." Jawab anak tersebut.
"Kamu tahu apa kerjamu hari ini?" Bentak sang ayah.
"Menjaga jemuran padi pak." Jawab anak tersebut.
"Dan kamu telah melalaikan tugasmu hanya karena memikirkan dirimu sendiri. Ketahuilah bahwa untuk menjadi seirang yang berguna harus tekun dan tidak boleh melalaikan tugas." Ucap sang ayah sambil merebut ikan yang dipegang dan dilemparkan ke helaman. Ikan-ikan itu itu bergerak-gerak seperti hati anak kecil itu yang meronta-ronta. Dia tahu apa yang kemudian akan menimpa dirinya. Seperti biasanya, kejadian rutin ketika dia melakukan kesalahan yang dianggap prinsip oleh ayahnya dia sudah hafal. Dia sudah tahu akibatnya. Cambuk rotan mendapat pekerjaan, menimpa tubuh kecil yang sering sakit-sakitan.
Dalam keadaanseperti ini pelariannya hanya kepada ibunya yang segera membelai lembut sambil mengusap-usap kepalanya. Dengan isakan yang hanya sampai di tenggorokan, kepala kecil itu diselundupkan kedekapan ibunya.
"Setiap tindakan harus disertai tanggung jawab anakku. Kau sudah berani berbuat, maka, kaupun harus berani menerima akibatnya, pahit ataupun manis. Semua ini akan menempa dirimu anakku". Berkata sang ibu penuh kasih sayang.
Dan anak kecil yang mencari perlindungan pada kasih sayang dan belaian mesra ibunya ini, anak yang sakit-sakitan, anak kecil yang hidupnya berasal dari keluarga miskin, yang selalu ditempa oleh kedisiplinan ayahnya, yang selalu dipupuk dengan kasih sayang ibunya, tidak diduga dan tidak disangka, dikemudian hari dapat menggegerkan penjajah Belanda, menggegerkan dunia internasional. Sebab, anak itu tidak lain adalah "Soekarno" yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan "Bung Karno" Presiden pertama Republik Indonesia yang menghiasi sejarah bangsanya.
Apakah "Raden Sukemi Sosrodihardjo" ayah Bung Karno tidak merasa memilikinya, sehingga begitu tega menghajar dengan rotan. Apakah Bung Karno hanya kepunyaan ibunya "Idayu Nyoman Rai" yang selalu membelainya dengan kasih sayang. Tidak! Soekarno adalah harapan keluarga Sosrodihardjo, hanya cara mendidiknya saja dan pengejawantahan cinta kasihnya yang berbeda. Tujuannya sama, sama-sama ingin membentuk Soekarno menjadi manusai yang diharapkan oleh keluarganya. Kedisiplinan merupakan bekal untuk menghadapi hari depan, dicampur dengan belaian kasih sayang yang merupakan keseimbangan untuk membentuk watak Soekarno, yang dikemudian hari tidak mungkin dipisahkan dari sejarah bangsanya.
"History is a pageant, not a philosophy." (Sejarah merupakan sebuah parade, bukan filsafah) demikian
A. Augustine Birrell seorang ahli hukum dan kritikus inggris mengatakan. Parade kehidupan orang-orang besar, parade periwtiwa masa lalu, timbul dan tenggelamnya karir seseorang. Demikian pula hidup anak kecil yang bernama "Kusno" dan kemudian hari diganti namanya dengan "Soekarno" yang akhirnya dikenal dengan sebutan "Bung Karno". Sejarahnya juga merupakan parade, parade masa lalunya, parade masa kecilnya, parade masa remajanya, parade masa tuanya dan parade masa kininya. Karena merupakan parade atau pawai, maka tidak mungkin dilepaskan dari yang satu dan lainnya. Mereka merupakan rantai yang berkesinambungan.
Ahli sejarah inggri yang hidup di abad 19 "James Anthony Froude" dalam bukunya yang berjudul "Short Studies on Great Subject" menulis "...We read the past by the present, and the form vary as the shadows fall, or as the point of vision alerts." (Kita membaca kejadian masa lalu dengan kenyataan-kenyataan sekarang ini, dengan bentuknya yang bagaikan bayangan yang berubah-ubah atau seperti sesuatu yang berpindah-pindah).
Memang demikianlah kita senantiasa memandang masa lalu, sejarah yang silam dengan kejernihan penerangan yang ada pada masa kini, sehingga kita dapat mengamati secermat mungkin jauh dari pemujaan maupun penginaan yang hanya didorong oleh emosi emosi rendah. Pada masa kecilnya, memang Soekarno yang dilahirkan pada 1 Juli 1901 bertepatan dengan meletusnya Gunung Kelud, merupakan milik keluarganya dan tumpuan harapan orang tuanya. Itu bukan merupakan hal yang berlebihan, Raden Sukemi yang keturunan Jawa asli dan masih berdarah bangsawan, menikah dengan Idayu Nyoman Rai yang masih keturunan Raja Singaraja, hanya mempunyai dua orang anak, yang besar perempuan bernama "Sukarmini" dan yang kecil lelaki ialah "Soekarno". Maka tumpuan harapan jatuh kepada anak laki-laki yang kelak dikemudian hari dapat mengharumkan nama keluarga, menepati pribahasa Jawa "Mikul Dhuwur Mendhem Jero" (Memikul Setinggi-tingginya Nama Keluarga dan Menanam Sedalam-dalamnya).
Soekarno yang waktu itu bernama Kusno, sering sakit. Ada saja penyakit yang cinta kepadanya, menurut paham Raden Sukemi yang islam dan menjalani Theosofi, penyakit anaknya itu karena namanya tidak cocok, harus dirubah. Untuk merubah harus dicarikan yang cocok dan memiliki makna positif. Sebab sebagian orang berpendapat, bahwa nama bukan hanya sekedar tanda atau sebutan belaka, tetapi didalamnya terkandung harapan-harapan.
"Yu...yu...aku setuju sekali dengan nama pemberian ayah yang baru. Mulai sekarang mbakyu kalau panggil aku harus dengan Karno. Gagah kan yu..?" Kata kusno kepada kakak permpuannya.
"aku tidak boleh memanggilmu dengan Kus? Tetapi aku sudah terlanjur biasa memanggilmu dengan Kus." Jawab kakaknya.
"Repot yu nanti, nanti kalo ada anak kecil memanggilku Kak Kus gimana?"
Dia berlari dan berlari terus menerus menelusuri tepian sungai untuk pulang.
"Bu...Ibu...ini aku mendapat ikan." teriak anak kecil itu penuh kemanjaan dan mengharapkan pujian.
"Bu...makan besar kita sore ini." teriak anak kecil itu kembali. Tetapi yang muncul diambang pintu bukan Ibunya yang sangat dicintai, bukan pula kakak perempuannya yang paling disukai, tetapi sang ayah yang paling disegani karena kedisiplinannya. Dikeremangan senja itu tampak wajah ayahnya penuh kekerasan.
"Pak...saya mancing, dapat ikan." Katanyaterputus-putus penuh kecemasan.
"Tahu ini jam berapa? Hanya karena kamu tergiur memancing ikan, sampai lupa waktu. Tidakkah kau pikirkan Ibumu bingung mencarimu?" Bentak sang ayah.
"Tetapi...tetapi saya tidak punya pikiran demikian pak, saya kira ibu tidak akan bingung jika saya pulang sampai senja hari." Jawab anak tersebut.
"Kamu tahu apa kerjamu hari ini?" Bentak sang ayah.
"Menjaga jemuran padi pak." Jawab anak tersebut.
"Dan kamu telah melalaikan tugasmu hanya karena memikirkan dirimu sendiri. Ketahuilah bahwa untuk menjadi seirang yang berguna harus tekun dan tidak boleh melalaikan tugas." Ucap sang ayah sambil merebut ikan yang dipegang dan dilemparkan ke helaman. Ikan-ikan itu itu bergerak-gerak seperti hati anak kecil itu yang meronta-ronta. Dia tahu apa yang kemudian akan menimpa dirinya. Seperti biasanya, kejadian rutin ketika dia melakukan kesalahan yang dianggap prinsip oleh ayahnya dia sudah hafal. Dia sudah tahu akibatnya. Cambuk rotan mendapat pekerjaan, menimpa tubuh kecil yang sering sakit-sakitan.
Dalam keadaanseperti ini pelariannya hanya kepada ibunya yang segera membelai lembut sambil mengusap-usap kepalanya. Dengan isakan yang hanya sampai di tenggorokan, kepala kecil itu diselundupkan kedekapan ibunya.
"Setiap tindakan harus disertai tanggung jawab anakku. Kau sudah berani berbuat, maka, kaupun harus berani menerima akibatnya, pahit ataupun manis. Semua ini akan menempa dirimu anakku". Berkata sang ibu penuh kasih sayang.
Dan anak kecil yang mencari perlindungan pada kasih sayang dan belaian mesra ibunya ini, anak yang sakit-sakitan, anak kecil yang hidupnya berasal dari keluarga miskin, yang selalu ditempa oleh kedisiplinan ayahnya, yang selalu dipupuk dengan kasih sayang ibunya, tidak diduga dan tidak disangka, dikemudian hari dapat menggegerkan penjajah Belanda, menggegerkan dunia internasional. Sebab, anak itu tidak lain adalah "Soekarno" yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan "Bung Karno" Presiden pertama Republik Indonesia yang menghiasi sejarah bangsanya.
Apakah "Raden Sukemi Sosrodihardjo" ayah Bung Karno tidak merasa memilikinya, sehingga begitu tega menghajar dengan rotan. Apakah Bung Karno hanya kepunyaan ibunya "Idayu Nyoman Rai" yang selalu membelainya dengan kasih sayang. Tidak! Soekarno adalah harapan keluarga Sosrodihardjo, hanya cara mendidiknya saja dan pengejawantahan cinta kasihnya yang berbeda. Tujuannya sama, sama-sama ingin membentuk Soekarno menjadi manusai yang diharapkan oleh keluarganya. Kedisiplinan merupakan bekal untuk menghadapi hari depan, dicampur dengan belaian kasih sayang yang merupakan keseimbangan untuk membentuk watak Soekarno, yang dikemudian hari tidak mungkin dipisahkan dari sejarah bangsanya.
"History is a pageant, not a philosophy." (Sejarah merupakan sebuah parade, bukan filsafah) demikian
A. Augustine Birrell seorang ahli hukum dan kritikus inggris mengatakan. Parade kehidupan orang-orang besar, parade periwtiwa masa lalu, timbul dan tenggelamnya karir seseorang. Demikian pula hidup anak kecil yang bernama "Kusno" dan kemudian hari diganti namanya dengan "Soekarno" yang akhirnya dikenal dengan sebutan "Bung Karno". Sejarahnya juga merupakan parade, parade masa lalunya, parade masa kecilnya, parade masa remajanya, parade masa tuanya dan parade masa kininya. Karena merupakan parade atau pawai, maka tidak mungkin dilepaskan dari yang satu dan lainnya. Mereka merupakan rantai yang berkesinambungan.
Ahli sejarah inggri yang hidup di abad 19 "James Anthony Froude" dalam bukunya yang berjudul "Short Studies on Great Subject" menulis "...We read the past by the present, and the form vary as the shadows fall, or as the point of vision alerts." (Kita membaca kejadian masa lalu dengan kenyataan-kenyataan sekarang ini, dengan bentuknya yang bagaikan bayangan yang berubah-ubah atau seperti sesuatu yang berpindah-pindah).
Memang demikianlah kita senantiasa memandang masa lalu, sejarah yang silam dengan kejernihan penerangan yang ada pada masa kini, sehingga kita dapat mengamati secermat mungkin jauh dari pemujaan maupun penginaan yang hanya didorong oleh emosi emosi rendah. Pada masa kecilnya, memang Soekarno yang dilahirkan pada 1 Juli 1901 bertepatan dengan meletusnya Gunung Kelud, merupakan milik keluarganya dan tumpuan harapan orang tuanya. Itu bukan merupakan hal yang berlebihan, Raden Sukemi yang keturunan Jawa asli dan masih berdarah bangsawan, menikah dengan Idayu Nyoman Rai yang masih keturunan Raja Singaraja, hanya mempunyai dua orang anak, yang besar perempuan bernama "Sukarmini" dan yang kecil lelaki ialah "Soekarno". Maka tumpuan harapan jatuh kepada anak laki-laki yang kelak dikemudian hari dapat mengharumkan nama keluarga, menepati pribahasa Jawa "Mikul Dhuwur Mendhem Jero" (Memikul Setinggi-tingginya Nama Keluarga dan Menanam Sedalam-dalamnya).
Soekarno yang waktu itu bernama Kusno, sering sakit. Ada saja penyakit yang cinta kepadanya, menurut paham Raden Sukemi yang islam dan menjalani Theosofi, penyakit anaknya itu karena namanya tidak cocok, harus dirubah. Untuk merubah harus dicarikan yang cocok dan memiliki makna positif. Sebab sebagian orang berpendapat, bahwa nama bukan hanya sekedar tanda atau sebutan belaka, tetapi didalamnya terkandung harapan-harapan.
"Yu...yu...aku setuju sekali dengan nama pemberian ayah yang baru. Mulai sekarang mbakyu kalau panggil aku harus dengan Karno. Gagah kan yu..?" Kata kusno kepada kakak permpuannya.
"aku tidak boleh memanggilmu dengan Kus? Tetapi aku sudah terlanjur biasa memanggilmu dengan Kus." Jawab kakaknya.
"Repot yu nanti, nanti kalo ada anak kecil memanggilku Kak Kus gimana?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar