Selasa, 15 Agustus 2017

BONGKARLAH BUKAN BUNGKUSLAH

  Adipati Ngawonggo tokoh pewayangan yang dikenal sebagai ksatria yang berpegangn teguh pada prinsip, samapai pujanggan kenamaan Mangjunegoro ke IV melukiskan jiwa satria Adipati ngawonggo agar menjadi suri tauladan bagi kerabat Mangkunegaran dalam bentuk tembang dangdanggula, terangkum dalam Tripama.

  Adipati Ngawonggo yang bernama Suryoputro atau lebih dikenal dengan Basukarno putra Dewi Kunti. Waktu itu Dewi Kunti masih perawan, tetapi karena salah menjalankan mantera pemberian Bathara Surya maka, hamilah dia. Betapa malunya, anak Raja hamil sebelum menikah. Harus dicarikan jalan keluar. Namun Dewa selalu serba mungkin, anak Kunti yang pertama tidak dilahirkan lewat rahim, tetapi dilahirkan lewat telinga. Maka dari itu diberi nama Basu Karno, atau dikemudian hari lebih dikenal dengan Adipati Karno yang berjiwa satrianya pantang mundur, berpegang pada prinsip.
  Masyarakat Jawa masih dikuasai oleh cerita-cerita pewayangan. Banyak orang-orang yang hafal diluar kepala cerita Maha Brata, Ramayana dan kisah-kisah carangan lain. Demikian juga Raden Sukemi yang priyayi, seorang guru Sekolah Dasar (SD). Dia sangat hafal cerita-cerita yang penuh kepahlawanan tersebut, bahkan sangat terkesan akan jiwa ksatria Adipati Karno, disiplin kuat, tidak mudah takut dan patah semangat, berpendirian kuat walaupun apapun yang terjadi.


  Adipati Karno dalam cerita pewayangan masih saudara dengan Pandawa, sama-sama anak Kunthi, hanya dari ayah yang berbeda. Untuk melenyapkan aib kerajaan, maka Basu Karno dibuang dan ditemukan oleh seorang kusir yang membesarkannya. Akhirnya dia diberi kepercayaan dan diberi kedudukan oleh Kurawa. Pada perang Baratayudha, peperangan antara Pandawa dan Kurawa, Adipati Karno memihak Kurawa, karena merasa bahwa Kurawalah yang telah mengangkat derajatnya, meskipun dia tahu bahwa Kurawa berada dipihak yang salah.


  Menjelang meletusnya Baratayudha, Prabu Kresno pun datang di Ngawonggo untuk membujuk Adipati Karno agar memihak kepada Pandawa, tetapi apa jawaban Adipati Karno?
 "Kakanda Kresno, saya tahu bahwa Kurawa dipihak yang salah, tetapi sayapun tahu bahwa Kurawa tidak akan berani melawan Pandawa jika tidak ada saya, padahal tanpa perang Baratayudha adik-adikku tidak akan mendapatkan negara Astina kembali. Maka keputusan saya, biarlah saya menjadi korban demi kebahagiaan Pandawa, demi kehancuran Kurawa si Angkara Murka."


  Pada perang Baratayudha itu, Adipati Karnopun berkorban dan gugur dimedan perang. Dengan korban seorang Adipati Karno, ikut pula tertumpas Kurawa, dan Pandawa mendapatkan haknya kembali menduduki tahta kerajaan Astina. Adakah harapan orang tua ini terwujud? Apakah akhir hayat kedua tokoh ini mendekati persamaan? hanya ahli sejarahlah yang mampu menjawabnya. Namun yang pasti, nama yang diberikan Raden Sukemi itu bukanlah sekedar nama, secara tidak sengaja mempunyai makna tersendiri dalam perkembangan sejarah bangsa Indonesia.


 "Umpama saya masih bernama Kusno, maka Indonesia akan memiliki Bung Kusno." demikian kelakar Bung Karno. Dalam bahasa Jawa, Bung Kusno berarti "Bungkuslah", apa-apa yang dibungkus tidak dapat berkembang. Maka kebetulan sekali jika Ayah memberi nama Soekarno, sehingga panggilan sehari-hari lebih akrab dengan panggilan Bung Karno, yang dalam bahasa Jawa berarti "Bongkarlah". Memang demikian kenyataannya.


  Dia selalu membongkar, membongkar kanker penjajahan yang telah berurat dan berakar dibumi Indonesia, membongkar rasa Minderwardigheid Complex (rasa rendah diri) yang selama ini menghinggapi perasaan rakyat terjajah, dan berusaha menggantikannya dengan perasaan Super. Perasaan bahwa "Indonesia bukan bangsa tempe, bukan bangsa kintel, tetapi bangsa Elang Rajawali".
 "Kita ini masih keturunan Gajah Mada yang besar dari Mojopahit, masih keturunan Ken Arok  Raja diraja Singasari".


  Selama hayat dikandung badan, dia terus membongkar dan menjebol sesuai dengan namanya, bongkarlah, bongkarlah, jebollah, jebollah. Ironis sekali bahwa dirinyapun ikut jebol. Kejiwaan yang teosofis telah ditanamkan oleh ayahnya sejak kecil dan disertai kedisiplinan yang dalam.


  Diwaktu pagi yang cerah, Karno yang kecil dan berbintang Gemini selalu ingin menjadi pemimpin anak-anak kecil, anak-anak kecil itu memanjat pohon jambu du pekarangan rumahnya. Dalam soal memanjat dia pun ingin yang paling hebat sendiri, paling tinggi sendiri, sehingga jika jatuh akan jatuh paling sakit sendiri. Penuh kegembiraan melompat dari dahan ke dahan lain sambil memetik buah jambu yang masak, ranum dan berdendang riang. Tiba-tiba tangannya menyentuh sarang burung yang berada disitu, sarang ituoun jatuh, dan...ayahnya ada dibawah pohon.
 "Karno, kalau tidak salah aku pernah berkata kepadamu, sayangilah binatang." berkata ayahnya. Diatas pohon Karno yang kecil gemetar, hilang sudah dendang riang dari mulutnya. Ayah marah. Bakalan mendapat hadiah rotan.
 "Benar pak".
 "Apakah burung ini bukan makhluk Tuhan?".
 "Dia ciptaan Tuhan pak".
 "Apakah kau sudah lupa pada Tat Twan Asi dan Tat Twam Asi?".
 "Tidak pak. Saya hafal luar kepala kata-kata itu dan saya tau maksdunya. Dia adalah Aku dan Aku adalah Dia, Engkau adalah Aku dan Aku adalah Engkau".
 "Tetapi mengapa kau menjatuhkan burung yang tidak berdaya ini? karena kau ingin dianggap perkasa, Jagoan, dapat mengalahkan burung yang lemah?" hardik pak Sosro.
 "Tidak sengaja pak." jawab pesakitan kecil yang berusia tujuh tahun ini dengan gemetaran. Sebab dia juga maklum hadiah apa yang akan diterimanya nanti.
 "Sengaja atau tidak sengaja, kamu telah membuat burung ini tersiksa, telur ini pecah berantakan. Sengaja atau tidak sengaja, akibatnya sama saja. Kalau toh tidak sengaja, itupun karena kecerobohan kamu juga." Rotanpun menari ditubuh Soekarno, membuat balur merah. Kejadian berulang kembali, Ibunya membelai dan membisikan kata-kata penuh kasih sayang. "Bahu mencencang, tangan memikul. Segala perbuatan, harus berani menerima akibatnya".


  Segala kekerasan itu hanyalan pengajawentahan cinta kasih ayahnya, terbukti dari usahanya untuk memasukan anaknya ke sekolah-sekolah yang lebih tinggi, meskipun keadaan ekonomi tidak mengijinkannya. Pertama Soekarno masuk Sekolah Rendah Bumiputra 5 tahun. Pada waktu itu, untuk melanjutkansekolah yang lebih tinggi tidak mudah. Tidak mungkin dia diterima di sekolah tinggi belanda kalau hanya lulusan  Sekolah Rendah Bumiputra saja.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar